Rabu, 14 Mei 2008

Semangat China Mengubah Paradigma


Bagi perusahaan pendatang baru dan bangsa seperti China yang tertinggal oleh teknologi terdepan, pembelajaran teknologi dipahami sebagai keharusan meskipun tidak punya cukup basis untuk pengembangan industri. Pembelajaran, meminjam definisi Hobday (1995, hal.32), adalah proses dimana manajer dan perusahaannya mendapatkan sesuatu dari “kotak hitam”, yaitu pengetahuan dan kemampuan yang mana masukan tersebut ditransformasikan ke dalam sumber daya yang bernilai secara ekonomis dan kompetitif yang mendukung pertumbuhan dan perkembangan nasional.

Foto. Pemandangan pagi hari dari Hotel Panglin, Shenzhen

Dalam konteks China, dengan melihat tantangan kompetitif yang dihadapi perusahaan China sekarang, secara khusus ada kaitan yang membedakan antara dua tipe inovasi dan tahapannya. Adopsi dan modifikasi minor dari teknologi maju dari luar dikategorikan sebagai aktifitas peniruan (imitatif). Sebaliknya, pengembangan yang melibatkan teknologi baru, sumber daya dan kemampuan di internal perusahaan (apakah sendiri atau kerjasama) dikategorikan sebagai terminologi aktifitas kreatif. Seiring dengan penunjukkan para peneliti penerima beasiswa (Abegglen and Stalk, 1985, hal. 146), imitasi yang sukses mungkin dapat menjadi dasar untuk aktifitas kreatif. Walaupun begitu dua aktifitas tersebut membutuhkan cara berpikir, perilaku dan kemampuan organisasi, dan tantangan yang secara fundamental berbeda untuk bergeser dari imitatif ke kreatif.

Tulisan ini menempatkan pilihan strategi tingkat perusahaan pada konteks nasional yang berkembang dan proses pembelajaran teknologi di China. Artikel mengkaji empat dimensi yang membatasi tahapan di evolusi sistem pembelajaran teknologi China: prioritas strategi pemerintah, alam dari teknologi, moda dan sumber pembelajaran.

Gambar1. Tahapan Evolusi Paradigma Imitasi ke Kreasi

Tahap Evolusi
Pembelajaran teknologi China dimulai sejak Partai Komunis China mengambil alih kekuasaan negara pada tahun 1949 dapat dibagi menjadi empat tahap sejarah – masa 1949-1960, masa 1960-1978, masa 1979-1991, masa 1992-2001 – dan tahap kelima: masa 2001 – kedepan (Gambar 1). Masing-masing tahap ini mewakili konfigurasi unik empat dimensi – prioritas strategi pemerintah, alamiah penekanan teknologi, moda pembelajaran, dan sumber geopolitik pembelajaran.

Tahap 1: Masa 1949-1960
Tahap pertama, masa 1949-1960, dikarakteristikkan dengan penekanan strategi pada industrialisasi dan industri berat, teknologi terkandung langsung pada sistem produksi total dan pengalihan proyek pabrikan dengan beli putus dan pelatihan ke luar negeri, serta menyandarkan diri ke Uni Soviet (Xie, 2004). Hal ini berjalan sejak Mao (pemimpin Partai Komunis China) mengumumkan berdirinya Republik Rakyat China pada tanggal 1 Oktober 1949. Meskipun ada euphoria dengan berakhirnya perang sipil dan harapan pemerintahan yang stabil, kapasitas industri dan ekonomi negara dalam keadaan sedang terpuruk. Sumber teknologi dan kemampuan China telah dihancurkan selama empat dekade sebelumnya oleh perang, korupsi pemerintahan Kuomintang (KMT) dibawah Chiang Kaishek, invasi dan pendudukan Jepang, dan perang sipil yang akhirnya dimenangi Partai Komunis China ketika KMT melarikan diri ke Taiwan. Prioritas strategi yang diambil oleh Mao dan para pemimpin China pada waktu itu adalah melakukan industrialisasi China, tidak hanya mengganti industri yang telah hancur, tetapi juga meningkatkan kapasitas produksi. Perhatian utamanya adalah pengembangan industri berat, termasuk baja, petrokimia, otomotif, mesin dan perangkat militer.

Tahap 2: Masa 1960-1978
Tahap kedua adalah dicirikan dengan penekanan strategi yang sama pada industrialiasi dan industri berat, tetapi ditandai dengan penekanan pada pengurangan strategi ketergantungan. Perubahan ini disebabkan oleh pecahnya Sino-Soviet akibat dari meningkatnya ketegangan hubungan Mao dan Kruschev. Hingga tahun 1960 para penasehat teknik dari Soviet dikembalikan dari China, dan sekelompok insinyur, peserta pelatihan, dan mahasiswa dalam jumlah besar China telah dikembalikan. Kondisi ini menjadi pelajaran penting bagi Mao dan pemimpin China lainnya; yaitu ketergantungan pada sumber daya asing pada teknologi, meskipun sealiran dengan komunis, membuat China dalam keadaan rawan.

Dua pendekatan strategi untuk mengurangi ketergantungan muncul pada periode ini. Pragmatisme, menyatakan bahwa China tidak bisa dengan sendiri mengembangkan teknologi yang dibutuhkan, mengemukakan alasan bahwa China tidak akan menjadi rawan jika melakukan diversifikasi teknologi. Pergeseran sumber utama teknologi China dari blok Soviet – sumber monolitik – ke berbagai negara maju adalah salah satu manifestasi pendekatan ini dan adalah fitur pada Tahap 2.

Diikuti dengan normalisasi hubungan dengan Amerika Serikat dan negara lain, Perdana Menteri Zhou Enlai pergi ke luar negeri untuk merencanakan impor pabrik pada tahun 1973. Rencana ini menjadi sasaran kritik pedas Gang of Four, suatu kelompok yang telah bersama-sama melakukan Revolusi Kebudayaan dan menjadi pesaing dalam pengambilan kekuasaan seiring dengan kesehatan Mao yang memburuk. Mereka secara ideologi berseberangan atas langkah kedekatan dengan beberapa negara lain yang ”dibutuhkan” China, apakah kapitalis barat atau ”revisionist” Soviet. Impor tersebut juga berkontribusi terhadap defisit perdagangan sebesar 760 juta dolar Amerika pada tahun 1974, bersamaan dengan meningkatnya harga impor dan mengecilnya permintaan ekspor China. Meskipun ini tidak menjangkau target awal yang direncanakan Zhou yaitu sebesar 4,3 milyar dolar Amerika, China mampu mengimpor lebih dari 3 milyar dolar Amerika, pabrikan dan perangkat-perangkat selama periode tahun 1971-1978. Kebanyakan impor tersebut terkonsentrasi pada petrokimia, besi dan baja, pupuk, batubara dan pembangkit listrik (Shi, 2000).

Tahap 3: Masa 1978-1991
Tahap ketiga dimulai pada akhir tahun 1970-an. Didorong oleh para teknokrat di Pemerintahan China yang melihat bahwa langkah, kapasitas dan keefektifan pembelajaran teknologi yang telah diambil tidak cukup mampu untuk merealisasikan tujuan pembangunan China. Hal ini ditunjukkan dengan pergeseran prioritas strategi, dari peningkatan kapasitas produksi di industri berat seraya meminimalkan ketergantungan, menjadi modernisasi sektor pertanian, sains dan teknologi, industri dan militer China (Empat Modernisasi).

Deng, mengambil langkah pragmatis China bergantung pada sumber teknologi asing untuk mempercepat modernisasi, meligitimasi pembukaan saluran baru dengan Kebijakan Pintu Terbuka 1978 (1978 Open Door Policy), pergeseran krusial dari penekanan pada kekuatan sendiri dan membatasi ketergantungan yang mendominasi tahap sebelumnya. Pergeseran ini direfleksikan dengan perubahan mode pembelajaran selama periode berlangsung. Mungkin pembangunan China jangka panjang yang paling penting adalah perubahan dalam kebijakan yang mempengaruhi pengembangan modal sumber daya manusia. Setelah lebih dari satu dekade kerusuhan dan tertutup, sistem pendidikan dan riset China di-revitalisasi, dan ujian masuk universitas nasional diadakan pada tahun 1978.
Selama periode ini, pemerintah juga mulai mensyaratkan kesepakatan alih teknologi sebagai suatu syarat bagi pembelian perangkat dari negara-negara maju. Pada saat ini pinjaman dari pemerintah asing dan institusi keuangan internasional (seperti Bank Duna, Bank Impor Ekspor Jepang, dst) menjadi sumber utama bagi permodalan untuk impor teknologi.

Perubahan kedua yang signifikan dalam mode pembelajaran berikutnya adalah perubahan pandangan dalam persepsi dan lingkungan investasi langsung dari asing (foreign direct investment - disingkat FDI) pada periode ini (Jolly, 2004, 2006; Zhao, 1995). Selama tahap ini, FDI menjadi suatu cara untuk mencapai tujuan pembelajaran teknologi yang dikenal secara ekspilisit.

FDI tidak hanya menciptakan saluran teknologi masuk ke China, namun ada hasil yang tidak terencana yaitu kontribusinya kepada kemampuan teknologi China di manufaktur industri ringan (Beamish and Wang, 1989). Dimana Pemerintahan China sebelumnya menyalurkan dana sendiri dan pinjaman luar negeri ke industri berat, kebanyakan FDI difokuskan pada industri ringan, termasuk didalamnya adalah tekstil, garmen, makanan, pengepakan, alat-alat rumah tangga (home appliances), produk elektris, mainan, arloji, kulit dan produk alas kaki.
Hasil kedua dari masuknya FDI adalah munculnya distrik industri selama periode ini, dimana Zeng dan Williamson (2003) menyebutnya dengan istilah ”jaringan bersaing (competitive networks)”. Contohnya termasuk ribuan bisnis keluarga di kota-kota tertentu khususnya pada produk, seperti Wenzhou (korek api dan sepatu), Chenghai (mainan), Shenzhen (mainan dan dekorasi Natal), Shengzhou (perhiasan) dan Jinjiang serta Dongguan (sepatu).

Tahap 4: Masa 1992-2001
Tahap keempat dimulai sejak 1992, dimana pemerintah menggeser penekanan dari modernisasi diri sendiri ke lokalisasi aktifitas nilai tambah sebagai suatu cara modernisasi. Ini terjadi pada tahun 1992 ketika FDI yang masuk melebihi pinjaman luar negeri dan menjadi saluran utama untuk pembelajaran di China (MOST, 1994).

Sejak politik pintu terbuka dijalankan China pada akhir 1970, pemerintah pusat mendorong dan mengancam agar FDI melakukan alih aktifitas nilai tambah ke China sebagai bagian dari impor atau kesepakatan FDI. Dua faktor yang ada pada awal Tahap 4, mengurangi insentif pada investor asing untuk melakukan hal serupa. Pertama, hingga pertengahan 1990an kebanyakan perusahaan multinasional (multinational company –disingkat MNC) mencari keuntungan biaya dengan melokalisasi proses perangkaian (assembly) di China, seringkali untuk diekspor kembali karena keuntungan yang dihasilkan dari domestik tidak dapat di-repatriasi (diambil kembali) dengan mudah. Kedua, komponen dan penyediaan bahan-bahan lainnya tidak tersedia di negeri China, biasanya karena penyedia lokal lemah dalam pengetahuan teknologi untuk memproduksi pada harga yang kompetitif atau, secara umum, mereka tidak mampu memproduksi sesuai dengan spesifikasi persyaratan teknis, kualitas dan pengiriman. Sebagai hasilnya, MNC tidak punya pilihan lain kecuali mencari sumber komponen ke luar negeri.

Butir kedua ini – lemahnya daya saing penyedia lokal – bertepatan dengan kesadaran para pembuat kebijakan dan para manajer China bahwa proses manufaktur dan sistem manajemen yang maju adalah kritikal sebagaimana kualitas dan harga menjadi basis kompetisi di berbagai industri. Selama tahap keempat ini, mereka mulai melihat kebutuhan prosedur operasi standar (SOP) untuk meningkatkan kualitas dan efisiensi sebagai kelengkapan perangkat dan subsistem manufaktur. Salah satu hasilnya adalah berdirinya Komite Sistem Kualitas China (China’s Quality System Committee) (ISO 9000) pada tahun 1992, yang dipimpin oleh Biro Sertifikasi Komoditas Nasional dengan partisipan 16 kementrian dan biro. Mandat yang diberikan adalah untuk mempromosikan difusi ISO 9000 di China. Sistem lain seperti 6-Sigma, juga mulai mendapat perhatian dan diimplementasikan oleh pemakai awal (early addopter) seperti Baogang Steel dan Legend (sekarang Lenovo).

Bahkan seiring pertumbuhan jumlah perusahaan China yang meningkatkan kemampuan teknik dan sistem manajerialnya untuk mendongkrak daya saing selama tahap ini, banyak perusahaan multinasional datang dan melihat China sebagai pasar yang penting, selain memfokuskan ke China sebagai suatu basis produksi ekspor. Hal ini menarik lebih bnayak perusahaan multinasioanl membuat investasi yang lebih besar dan membawa teknologi manufaktur yang lebih maju dibanding tahun-tahun sebelumnya. Hingga 2001, lebih dari 60 persen Fortune 500 telah mendirikan operasinya di China, kebanyakan dengan intensitas pada pelayanan basis pasar domestik berbasis dengan kemajuan teknologinya.

Ketiga, seiring perusahaan multinasional yang mulai mengambil bahan baku di pasar lokal, mereka sering bekerja sama dengan penyedia lokal, memberikan asistensi teknik untuk kontrak jangka panjang. Hal ini telah menjadikan basis bagi beberapa perusahaan menjadi penyedia utama, baik secara domestik maupun secara internasional. Sebagai contoh, BYD yang bermarkas di Shenzhen dan terdaftar di Hong Kong adalah manufaktur batere ion lithium dan nickel cadmium. Selama awal-awal tahun mereka berdiri, Motorola memberikan asistensi teknis kepada BYD, mengirimkan para insinyurnya di lapangan dengan insinyur BYD untuk meningkatkan kualitas baterenya untuk terminal seluler. Sekarang, BYD mensuplai tidak hanya Motorola, tetapi juga Ericsson dan Sanyo secara global.

TAHAP 5 dan Paradigma Kreasi
Makalah ini menganggap tahap kelima pembelajaran teknologi di China telah dimulai, dan hal ini menandakan perubahan yang tidak berlanjut dari empat tahap yang sebelumnya. Sebagaimana didiskusikan di awal makalah, perubahan fundamental adalah dari strategi perusahaan dan nasional berbasis pada teknologi imitasi yang dikembangkan dimanapun, ke strategi berbasis pada penciptaan sendiri dan sumber daya dan kemampuan bernilai kompetitif. Meskipun diketahui bahwa waktu dan kecepatan transisi terhadap tahapan baru ini mempertimbakan berbagai industri dan perusahaan, masuknya China ke WTO tahun 2001 adalah demarkasi yang sarat arti pada tingkat nasional. Seperti yang lain, pengembangan kebijakan utama diasosiasikan dengan tahap-tahap sebelumnya, masuknya WTO memberikan sinyal pengembangan utama dalam tujuan strategi pemerintah, untuk melihat jumlah perusahaan China yang sedang berkembang muncul sebagai kompetitor global. Ini memiliki kebijakan yang jelas terhadap perlindungan perusahaan China yang akan menjadi daya saing di luar negeri sebagaimana perusahaan domestik yang sukses berkompetisi terhadap perusahaan multinasional di China.

Selama perubahan prioritas strategi pemerintah dalam melihat perusahaan China yang mampu bersaing secara global dengan basis inovasi dan kratifitas, alam teknologi juga penting untuk diubah. Kalau prioritas strategis sebelumnya dapat sukses mengambil teknologi yang dibangun orang lain, paradigma yang baru memerlukan organisasi untuk membangun kemampuan menciptakan teknologinya sendiri.

Beberapa perusahaan China telah mengenali persyaratan daya saing baru dan telah menanamkan modal di luar negeri sebagai bagian dari strategi pembelajaran. Mereka melakukan investasi keluar langsung sebagai moda baru pembelajaran teknologi. Sebagian kecil perusahaan China - tapi jumlahnya terus bertambah – bahkan mengakuisisi perusahaan atau subunit perusahaan di luar negeri baik teknologi maupun kemampuan perusahaan yang ada. Pembelian divisi PC IBM oleh Lenovo pada akhir 2004 adalah contoh yang paling signifikan. Perusahaan China juga mengakses teknologi maju di luar negeri dengan mendirikan laboratorium R&D dan dengan membentuk aliansi dengan perusahaan multinasional, suatu kecenderungan yang dimulai pada tahun 1995 dan telah meningkat signifikan sejak 1999. Huawei, Lenovo, Haier dan ZTE Telecom adalah contoh-contoh perusahaan yang melakukan hal tersebut di laboratorium R&D di Amerika Serikat dan Jepang.

Sebagaimana perusahaan China yang melakukan investasi di luar negeri, hal yang sama untuk menghasilkan teknologi buatan dengan kemampuan kreatifitas sendiri di dalam negeri, pada Tahap 5 juga ditandai dengan pesatnya pertambahan jumlah pusat R&D perusahaan multinasional yang berdiri di China (Walfish, 2001; Von Zedtwitz, 2004). Ekspansi aktifitas di China oleh perusahaan-perusahaan ini mewakili pergeseran penting motivasi FDI. Motivasi di tahap sebelumnya adalah perusahaan multinasional memanfaatkan keuntungan terutama murahnya biaya produksi. Survei alasan mengapa perusahaan multinasional mendirikan fasilitas R&D di China (Xue et al., 2002) membenarkan bahwa kebanyakan investasi difokuskan pada lokalisasi dan dengan mengadopsi produk pada kebutuhan pasar lokal. Beberapa perusahaan multinasional, mendirikan fasilitas R&D di China tidak untuk melayani pasar lokal, tapi memanfaatkan tersedianya personil R&D dengan harga rendah dan keterampilan tinggi (Wolff and Armbrecht, 2002).

Tidak ada komentar: